Negara-negara
di Afrika Timur sedang disibukkan dengan upaya memerangi wabah kala azar
terburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Kala azar adalah nama lain visceral
leishmaniasis (VL), yaitu penyakit parasit endemik yang menyerang sekitar 70
negara di dunia.
Sudan Selatan memiliki jumlah kasus tertinggi kedua setelah India.
Penyakit ini menyebar melalui gigitan lalat pasir. Sekitar setengah juta orang telah terinfeksi dan 50.000 hingga 60.000 orang meninggal per tahunnya disebabkan infeksi ini.
Pasien yang terinfeksi mengalami gejala berupa demam tidak teratur, berat badan menurun pesat, limpa dan hati membengkak, dan mengalami anemia.
Kolaborasi di seluruh wilayah endemik melalui Leishmaniasis East Africa Platform (LEAP) berhasil mengembangkan kombinasi terapi baru yang lebih murah dan cepat.
Di Nairobi, lebih dari 100 peneliti dan pakar klinis dari Departemen Kesehatan dan otoritas pengawas obat akan mengadakan pertemuan dua tahunan LEAP minggu ini. Pertemuan ini akan membahas apa yang berhasil di lapangan serta berupaya menemukan cara lebih yang baik untuk mengendalikan penyakit ini.
Setelah 70 tahun mengalami sedikit perbaikan dan perubahan dalam pengobatan Kala Azar di Afrika, LEAP dan mitra-mitranya telah berhasil menemukan pengobatan baru yakni pengobatan kombinasi Sodium Stibogluconate & paromomycin (SSG & PM).
Obat ini lebih murah dan mempercepat pengobatan hampir separuh waktu yang diperlukan sebelumnya, yaitu dari 30 hari setelah suntikan menjadi 17 hari saja.
Kombinasi terapi ini juga membantu mengatasi resistensi terhadap pengobatan. Negara-negara di kawasan Afrika Timur sedang berada dalam proses pendaftaran dan siap menggunakan pengobatan, namun mereka masih memerlukan dana untuk mengendalikan penyakit ini.
"Saya telah menghabiskan 50 tahun merawat pasien Kala Azar dan meneliti parasit pembunuh ini. Saya tahu pasien di sini sangat miskin dan pekerja kesehatan terbebani dengan pengobatan yang lebih cepat, lebih murah, dan mudah digunakan," kata Profesor Ahmed Mohamed El Hassan, Profesor Emeritus dari Institut penyakit Menular di Universitas Khartoum, Sudan.
"Idealnya untuk pasien dengan kondisi seperti itu, kita memerlukan pengobatan oral seperti yang sedang diuji saat ini, atau obat yang benar-benar baru. Tapi kami masih sulit mencapainya dan berupaya mencari dana untuk mendapatkan obat tersebut," lanjutnya seperti dikutip dari Esciencenews, Senin (26/9/2011).
Pada bulan Maret 2010, Komite Ahli Pengendalian Leishmaniases bentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan SSG & AM sebagai pengobatan pertama Kala Azar di Afrika Timur.
Obat ini telah digunakan untuk mengobati pasien-pasien Kala Azar di Sudan dan Sudan Selatan. Negara lain yang terkena dampak Kala Azar sedang dalam proses pendaftaran PM untuk digabungkan dengan SSG yang sudah terdaftar.
"Setelah 20 tahun, WHO memperbarui pedoman kontrol untuk leishmaniasis. Ini menunjukkan bahwa ada kolaborasi dan kemajuan yang lebih besar. Sekarang negara-negara ini membutuhkan dukungan untuk menerapkannya di lapangan," kata Dr Merce Herrero dari divisi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit LEAP.
Pengembangan SSG & PM merupakan hasil kerjasama kolaboratif selama enam tahun antara Drugs for Neglected Disease Initiative (DNDi), LEAP, dan mitra lainnya termasuk Program Pengendalian Nasional Kenya, Sudan, Ethiopia, dan Uganda, serta Médecins Sans Frontières (MSF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sudan Selatan memiliki jumlah kasus tertinggi kedua setelah India.
Penyakit ini menyebar melalui gigitan lalat pasir. Sekitar setengah juta orang telah terinfeksi dan 50.000 hingga 60.000 orang meninggal per tahunnya disebabkan infeksi ini.
Pasien yang terinfeksi mengalami gejala berupa demam tidak teratur, berat badan menurun pesat, limpa dan hati membengkak, dan mengalami anemia.
Kolaborasi di seluruh wilayah endemik melalui Leishmaniasis East Africa Platform (LEAP) berhasil mengembangkan kombinasi terapi baru yang lebih murah dan cepat.
Di Nairobi, lebih dari 100 peneliti dan pakar klinis dari Departemen Kesehatan dan otoritas pengawas obat akan mengadakan pertemuan dua tahunan LEAP minggu ini. Pertemuan ini akan membahas apa yang berhasil di lapangan serta berupaya menemukan cara lebih yang baik untuk mengendalikan penyakit ini.
Setelah 70 tahun mengalami sedikit perbaikan dan perubahan dalam pengobatan Kala Azar di Afrika, LEAP dan mitra-mitranya telah berhasil menemukan pengobatan baru yakni pengobatan kombinasi Sodium Stibogluconate & paromomycin (SSG & PM).
Obat ini lebih murah dan mempercepat pengobatan hampir separuh waktu yang diperlukan sebelumnya, yaitu dari 30 hari setelah suntikan menjadi 17 hari saja.
Kombinasi terapi ini juga membantu mengatasi resistensi terhadap pengobatan. Negara-negara di kawasan Afrika Timur sedang berada dalam proses pendaftaran dan siap menggunakan pengobatan, namun mereka masih memerlukan dana untuk mengendalikan penyakit ini.
"Saya telah menghabiskan 50 tahun merawat pasien Kala Azar dan meneliti parasit pembunuh ini. Saya tahu pasien di sini sangat miskin dan pekerja kesehatan terbebani dengan pengobatan yang lebih cepat, lebih murah, dan mudah digunakan," kata Profesor Ahmed Mohamed El Hassan, Profesor Emeritus dari Institut penyakit Menular di Universitas Khartoum, Sudan.
"Idealnya untuk pasien dengan kondisi seperti itu, kita memerlukan pengobatan oral seperti yang sedang diuji saat ini, atau obat yang benar-benar baru. Tapi kami masih sulit mencapainya dan berupaya mencari dana untuk mendapatkan obat tersebut," lanjutnya seperti dikutip dari Esciencenews, Senin (26/9/2011).
Pada bulan Maret 2010, Komite Ahli Pengendalian Leishmaniases bentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan SSG & AM sebagai pengobatan pertama Kala Azar di Afrika Timur.
Obat ini telah digunakan untuk mengobati pasien-pasien Kala Azar di Sudan dan Sudan Selatan. Negara lain yang terkena dampak Kala Azar sedang dalam proses pendaftaran PM untuk digabungkan dengan SSG yang sudah terdaftar.
"Setelah 20 tahun, WHO memperbarui pedoman kontrol untuk leishmaniasis. Ini menunjukkan bahwa ada kolaborasi dan kemajuan yang lebih besar. Sekarang negara-negara ini membutuhkan dukungan untuk menerapkannya di lapangan," kata Dr Merce Herrero dari divisi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit LEAP.
Pengembangan SSG & PM merupakan hasil kerjasama kolaboratif selama enam tahun antara Drugs for Neglected Disease Initiative (DNDi), LEAP, dan mitra lainnya termasuk Program Pengendalian Nasional Kenya, Sudan, Ethiopia, dan Uganda, serta Médecins Sans Frontières (MSF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
(http://www.detikhealth.com, 26/09/2011)
Categories:
Info / berita,
Penyakit